Sabtu, 21 Mei 2011

Cerpen pertama :D

Malam Bersejarah


Walaupun cuaca malami kurang bersahabat tetapi piket siskamling, sistem keamanan lingkungan, tetap berjalan sebagai mana mestinya. Hari kamis, biasa mereka sebut malam ngiwon, sebutan khas malam jumat yang sering di katakan oleh pemuda-pemuda di desa Induk. Tanggung jawab malam ini adalah desa Induk. Walaupun tim gesa, tim senior yang bertugas melatih dan mengawasi peserta didiknya, selalu mengawasi tanpa sepengetahuan mereka, tetap saja “kamilah polisi desa malam ini” yang ada di pikirannya. Fadli berbadan tegap, Aziz dengan tubuh pendeknya yang six pack dan Syawal si kutu buku dengan tinggi yang standar. Nama mereka yang terpampang jelas di jadwal piket menjadi kebanggan tersendiri bagi ketiga pemuda ini. Di desa Induk, tempat mereka bernafas tak mudah untuk masuk menjadi anggota siskamling. Ada serangkaian tes dan pelatihan. Mereka di bina langsung oleh tim gesa.
Perjalanan pertama mereka dimulai pukul 23:00 wib. Basmallah dan Al-Fatihah mengawali langkah ke tiga pemuda ini dan juga serangkaian doa supaya diberikan kekuatan oleh Sang Khalik. Tos FAS, tepukan yang sengaja mereka buat untuk menambah semangat, menjadi bagian wajib sebelum berpatroli. Berbekal lampu senter, dan golok, langkah mereka tak dapat terhenti bak polisi betulan. Bedanya, polisi berseragam dan dilengkapi pistol sedangkan mereka memakai sarung dan membawa golok saja.
 Berkeliling desa memastikan keadaan tetap tenang dan tentram seperti biasanya. Terlihat beberapa orang bersarung menutupi kepala dan dan wajah mereka dari dinginnya udara dan hujan rintik yang telah berlangsung selepas magrib tadi. Fadli merasa ini belum apa-apa setelah ia berhasil melewati segala rintangan saat pelatihan. Aziz, membawa perlengkapan tambahan ia sebut dengan rantai Bruce Lee, rantai yang mirip dengan alat beladiri digunakan Bruce Lee dalam laganya. Syawal si kutu buku tetap saja membawa perlengkapan tambahan yang baginya wajib, ya benar sekali buku bacaan. Kali ini yang ia bawa adalah buku Pangeran Diponogoro yang ia pinjam dari perpustakaan sekolahnya.
Lelah berjalan mengelilingi desa, mereka memutuskan kembali ke poskamling, pos keamanan lingkungan. Belum sampai, kira- kira 100 meter dari poskamling, serentak mereka menghentikan langkah kaki, memusatkan perhatian ke salah satu rumah warga, rumah pak Salam.
Fadli, Aziz dan Syawal seketika berlari menuju teras. Semakin mendekati rumah pak Salam makin tebal pula kepulan asap membumbung tinggi. Rintik hujan pun tak dapat menembus tebalnya asap yang telah menjadi kabut. Sebuah keanehan yang terjadi di desa induk. Kabut hitam menggumpal menggelapkan pandangan walaupun hanya satu meter saja. Meraba-raba memastikan apa yang sebenarnya terjadi di rumah pak Salam. Mencoba mengetuk dan memanggil si empunya rumah. “Pak Salam, Bu Nurul banyak asap dirumah kalian” teriak Fadli, Aziz dan Syawal bergantian namun tak kunjung dapat sahutan. Fadli bergegas menuju pintu samping berharap orang di dalam rumah ini mendengar teriakannya. “Bangun, buka pintunya banyak asap“ teriaknya sekencang mungkin sambil menggedor pintu.
Sementara Aziz dan Syawal terus berteriak di depan teras, ternyata membangunkan beberapa warga yang tinggal bersebelahan dengan pak Salam. “Air, air, air” teriak salah satu warga yang baru keluar dari rumahnya. “Rumah pak Salam kebakaran, banyak asap” memberi tahu kepada Aziz dan Syawal yang berada di teras depan. Seketika otak mereka berdua memerintahkan hal yang sama “dobrak pintunya” itulah yang ada di pikiran mereka. Mereka ingat apa yang pernah diajarkan oleh tim gesa saat mencoba mendobrak pintu dalam keadaan darurat. Aziz yang bertubuh kekar, mengeluarkan semua kemampuannya di bantu Syawal dengan tak tik jitu yang di pelajarinya saat pernah terkunci di dalam kamar. “Percuma itu tidak akan berhasil pintu depan digembok“ teriak Fadli yang melihat tindakan Aziz dan Syawal. “Kita dobrak dari pintu samping saja” teriaknya sambil menyerukan strategi yang telah ia pikirkan. Secepat kilat kedua pemuda itu berlari menuju pintu samping. Memanfaatkan balok kayu besar di pekarangan pak Salam. “Bersiap, satu, dua, tiga” teriak Fadli, mengistruksikan Aziz dan Syawal untuk bersama mendobrak pintu dengan balok kayu. Terlihat hasil yang membuat mereka lega, pintu berhasil terbuka. Ketika masuk, mereka semua terbatuk-batuk karena asap yang telah menggumpal seakan ingin menelan mereka hidup-hidup. Saat berusaha menuju kamar, Fadli merasa mengijak sesuatu, dilihatnya ke bawah ternyata ia telah menginjak kaki bu Nurul, tergeletak lunglai di atas lantai ruang TV. Dengan sigap ia membawa bu nurul keluar untuk mendapat pertolongan dari warga yang sudah ramai berkumpul diluar, mereka semua siap untuk membantu.
Didalam rumah masih ada Aziz dan Syawal, mereka berteriak dan menggedor pintu kamar pak Salam dan anak-anaknya namun tak juga dapat sahutan. “Pasti mereka pingsan” pikir Syawal. “Aku butuh obeng” pinta syawal dengan Aziz. “Tak cukup banyak waktu untuk mencari obeng” jawab Aziz. Syawal teringat akan kejahilan kakaknya yang mengunci kamarnya dari luar saat ia tengah terlelap tidur. Bukan syawal kalu habis idenya, ia menggunakan sepen, penjepit rambut yang digunakan oleh perempuan, dan Amazing pintu langsung terbuka. Atas keberhasilannya itu ia putuskan untuk melakukan hal yang sama. Dilihatnya ada sekumpulan kuncitan dan sepen di meja samping kamar. Tangannya cekatan memilih sepen mana yang akan digunakan. Percobaan pertama gagal, ini tidak seperti biasanya. Kemudian dicobanya lagi, masih juga tak berhasil. Aziz yang dari tadi diam saja mengeluarkan kata mutiaranya “janganlah kamu melakukan sesuatu dalam keadaan panik, tarik nafas lalu hembuskan, dan coba lagi”. Kata mutiara itu ternyata sangat ampuh di saat darurat. “Aziz oh aziz perkataanmu membuatku terpukau” gumam Syawal. Saat percobaan ke tiga pintu pun terbuka, dugaan mereka benar pak salam dan ketiga anaknya telah pingsan. Aziz segera masuk dan Syawal memanggil warga lain untuk bisa cepat membawa keempat korban yang masih berada di dalam. Warga pun siap siaga membantu.
“Nenek dan Kakek, ia benar nenek dan kakek, pasti masih di atas“ teriaknya tiba-tiba. Fadli dan Aziz seketika berlari meninggalkan Syawal. Syawal terdiam sejenak, entah kenapa pikiranya hampa. “aku sedang apa ya, haduh kumat lagi” kesalnya dalam hati. “Aku ikut” teriaknya.
Mereka menuju kelantai dua, ternyata pintu kamar tidak terkunci. Kakek dan nenek terkejut saat akan digendong Fadli dan Aziz. Mereka berpikir bahwa kakek dan nenek juga pingsan. “Alhamdulillah tidak pingsan” syukur Syawal. “Ayo tunggu apa lagi, kita harus segera turun” tegasnya. Fadli dan Aziz segera membantu kakek dan nenek untuk turun. Tanpa sepatah katapun kakek dan nenek mengikuti instruksi bocah-bocah itu.
Saat di luar rumah nenek dan kakek bingung melihat pak salam, bu nurul dan anak-anaknya yang dibaringkan di teras depan rumah warga lalu  berkata “apa yang terjadi sebenarnya?“, “nanti kami jelaskan ya nek” jawab sawal dengan lemah lembut. Tiba-tiba Fadli berteriak “kita butuh mobil untuk membawa korban ke Rumah Sakit”.  Beberapa detik setelah teriakan itu, datanglah mobil patroli tim gesa, mobil bantuan dari pemerintah kota. Pak salam dan keluarga langsung di bawa masuk ke mobil, kakek dan nenek pun ikut. “Syawal kau temani kakek dan nenek bersama tim gesa kami akan tetap berada disini untuk menyelidiki sumber masalah” kata Fadli. “baiklah, aku akan ikut, kalian baik-baik ya”. Mobil tim gesa pun melaju kencang, menuju Rumah Sakit dengan waktu tempuh 30 menit.
Di TKP Fadli dan Aziz di bantu beberapa warga mulai menyusuri rumah korban. Fadli menemukan sumber asap namun tak menemukan api dalam jumlah besar. Ternyata lampu petromaks yang tergantung diruang tamu telah jatuh tepat diatas kursi busa. “oh jadi ini penyebabnya, beruntung 3 drum bensin di bagian warung tidak terbakar kalu tidak 1 desa habislah dilalap si macan merah” seru Aziz. Fadli menuju ke belakang rumah, mencari handuk lalu membasahinya dengan air untuk melenyapkan api kecil di kursi busa. “kita buka semua jendela dan pintu di rumah ini supaya asapnya cepat berkurang” instruksi Fadli kepada warga yang ikut masuk. Semunya bergegas dan  bekerja sama. Tak lama dari itu semuanya berkumpul kembali di teras rumah pak Salam. Aziz dan Fadli memutuskan untuk menjaga rumah pak Salam. “Bapak, ibu, dan saudara-saudara bisa kembali ke rumah masing-masing, kami yang akan menunggu disini” kata Fadli kepada warga. Warga pun kembali kerumah masing-masing, mungkin melanjutkan tidur mereka karena jam menunjukkan pukul 02:30 dini hari.
Fadli dan Aziz menghela nafas, merasa lega dan tinggal menuggu kabar dari Syawal tentang keadaan pak Salam dan keluarganya.
Kukuruyuk… suara kokokan ayam membangunkan mereka yang tertidur di teras. “Wah sudah subuh, kita ketiduran nih Fad” kata Aziz. Fadli menengok ke belakang, melihat jam di ruang tamu melalui pintu yang masih terbuka. Jam 05.35 wib, “hah, hayo cepet berwudhu, kita sholat disini saja” kata Fadli sambil menarik aziz yang masih loyo dan terlihat tidak bersemangat. Merekapun shalat berjamaah di rumah pak salam. Keadaan rumah sudah kembali ke posisi semula, udara mulai terasa segar. Kedua pemuda ini mengangkat kursi busa yang telah bolong bagian tengahnya, membawa keluar rumah. Warga yang mulai beraktivitas juga menyempatkan melihat keadaan rumah pak salam, ada yang bertanya-tanya tentang kejadian semalam bahkan ada yang masuk ke dalam rumah memastikan apa yang menjadi penyebabnya. “Wah kursinya bolong yah“ salah satu anak kecil berkata kepada ayahnya. Mereka mulai memperhatikan kursi bolong dan memperbincangakan kronologis peristiwa semalam. Sedangkan Fadli dan Aziz, berada di ruang tamu melanjutkan istirahat untuk sejenak bersantai.
“Assalammualaikum”, “waalaikumusalam” sahut Fadli dan aziz berbarengan. Syawal tiba, menyampaikan informasi bahwa keadaan pak salam dan anak-anaknya mulai membaik dan sudah sadarkan diri, kakek dan nenek juga di periksa dan menderita bauk-batuk akibat menghirup asap yang terlalu lama. Hanya saja bu Nurul kondisinya masih sangat lemas, masih menggunakan tabung oksigen. Setelah Syawal menyampaiakan informasi yang ia dapat selama di RS, ternyata di luar sudah ada tim gesa dan sekumpulan warga yang ingin mengetahui kabar dari rumah sakit. Menggunakan toa, alat pengeras suara, ketua tim gesa “pak Gani” menyampaikan informasi dan kabar pak salam dan keluarganya kepada warga yang telah menunggu. Di akhir penyampainya, pak Gani memanggil ketiga pemuda pemberani. “Fadli, Aziz dan Syawal, silahkan kemari kalian akan menjadi anggota kehormatan tim gesa. Selamat atas usaha dan kerja kerasnya kalian pahlawan desa Induk di malam bersejarah yang baru kalian lewati beberapan jam lalu, kami bangga dengan kalian. Kami memberikan penghargaan bintang 1 atas keberhasilan kalian. Kami juga berterima kasih kepada seluruh warga desa yang telah membantu tugas kami, semoga kita akan selalu cepat tanggap dan siap sedia dalam setiap keadaan, aamiin”, ucap pak gani dengan lantang.
Terlihat raut muka yang penuh bahagia dan haru, terutama untuk ketiga pemuda ini. Satu per satu warga memberikan ucap selamat dan terima kasih. Atas kejadian ini mereka sepakat untuk meneruskan cita-cita menjadi anggota tim gesa sampai hayat di kandung badan. “Malam bersejarah” membawa mereka menjadi pemuda yang semakin tangguh, tak kenal lelah, dan rela menolong karena sejatinya itulah sifat yang harus dimiliki oleh anggota tim gesa.
Lima hari di rumah sakit akhirnya pak salam dan keluarganya pulang kerumah, anak-anak juga sudah sehat dan riang kembali seakan tak pernah ingat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Sedangkan Bu Nurul masih harus melakukan medical check up, pengecekan medis yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan. Keluarga pak salam telah mengetahui kronologis peristiwa malam bersejarah tersebut dan mengadakan sedekahan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta, Allah swt. Tak lupa pula pak Salam mengucakan terima kasih terutama untuk Fadli, Aziz dan Syawal yang menjadi pahlawan bagi mereka, dan semua warga yang telah membantu.
Hari demi hari keadaan desa kembali seperti semula. Pagi hari anak-anak bersiap berangkat ke sekolah sama halnya dengan Fadli, Aziz dan Syawal, sekarang mereka duduk dibangku SMA kelas 3 dan bersiap menghadapi Ujian Nasional 1 bulan mendatang.
Akhirnya, malam bersejarah itu membuat mereka semakin mengerti makna kehidupan. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari atau bahkan hanya 1 jam kedepan. Hidup memang dilalui dengan perjuangan keras. Pengalaman adalah guru terbaik. Tetap belajar di setiap hela nafas, hingga suatu saat akan ada hasil yang menakjubkan, bahkan tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

alhamdulillah, awalnya mikirin ni cerpen bakalan ribet, ternyata asik juga ya bikin cerpen. puisi tetep is the BEST :D "Mari Menulis" yuk...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar